Jumat, 08 April 2011

Catatan Kelahiran, Hidup dan Akhir Perjalanan Swami






Lhokseumawe, 1987. kota di ujung Pulau Sumatra ini adalah kota yang menjadi saksi dari awal gagasan hingga lahirnya kelompok musik SWAMI. Saat itu saya sebagai seorang reporter dari koran sore ibukota Suara Pembaruan, salah satu wartawan yang diundang event organizer AIRO, yang berencana akan menggelar konser musik Iwan Fals Mata Dewa ke 100 kota di Indonesia. Sayangnya, belum terlaksana di satu kota pun, izin pertunjukan itu tiba-tiba dicabut oleh Mabes Polri tanpa alasan yang jelas.

Tentu saja keputusan yang mendadak itu membuat seluruh rombongan jadi shock. Padahal seluruh seluruh rombongan pendukung sudah berada di Palembang, tempat konser perdana bakal digelar. Akhirnya, walau seluruh jadwal konser di Pulau Andalas itu dibatalkan, Iwan Fals tetap bertekad meneruskan perjalanan ke kota Padang, Medan dan Lhokseumawe, yang tadinya direncanakan menjadi kota persinggahan rangkaian konser yang batal dilaksanakan itu.


Saya bersama beberapa rekan wartawan seperti Remy Soetansyah dan Hans Miller Banurea (Monitor), Toro (Suara Merdeka) dan Iwan (Sriwijaya Pos) diminta menemani perjalanan tersebut. “Aku harus menjelaskan pada publik bahwa pembatalan konser ini bukan prakarsaku,” ujar Iwan Fals yang cukup terpukul dengan kejadian ini. Setelah Padang dan Medan, kami menempuh perjalanan darat dari Medan ke Lhokseumawe dengan mobil.

Suasana Lhoksuemawe saat itu memang bagi kami terasa mencekam. Munculnya isu Gerakan Aceh Merdeka membuat pendatang, terutama dari Jawa, masih disorot tajam oleh masyarakat setempat. Untung selama di Lhokseumawe kami mendapatkan pengawalan dari kesatuan TNI, ARSU yang bertugas menjaga keamanan wilayah tersebut. Selama di kota itu, kami menemukan beberapa kejadian yang bagi kami luar biasa, karena tak mungkin bisa terjadi di Jawa.

Suatu pagi, saat mau kembali ke Medan, kami melihat sepasukan tentara berjaga-jaga di sepanjang jalan protokol. Setelah bertanya kiri-kanan, ternyata hari itu akan terjadi demonstransi, sebuah kegiatan yang tak mungkin terjadi di Jawa pada masa kejayaan Orba itu. Dan lucunya, yang melakukan demo ternyata anak-anak murid Sekolah Dasar. Mereka protes terhadap ke KUA (Kantor Urusan Agama) berkaitan dengan undang-undang poligami.

Beberapa pos pemeriksaan kami lewati. Berbekal kartu pers dan surat tugas, kami berhasil melewati pos-pos penjagaan tersebut. Kami kemudian meluncur dengan aman. Bagi saya dan Iwan Fals, perjalanan pulang ini membawa suasana lain. Selama perjalanan melalui Palembang, Padang, Medan dan Lhoksuemawe, kami banyak terlibat dialog dan diskusi tentang berbagai hal, mulai masalah politik, sosial sampai musik. Bahkan dalam perjalanan ini kami sempat menulis beberapa lirik dan menggubah lagu. Sayang lagu-lagu itu tak sempat kami rekam sampai sekarang.

Sesampai di Jakarta kembali, saya dan Iwan makin sering bertemu. Terkadang berhari-hari saya nongkrong di Condet, rumah Iwan saat itu. Dalam kurun waktu pertemuan itu, kami bersama menggubah lirik dan lagu hingga lahirlah lagu “Bento”, “Kebaya Merah”, “Condet” dan lain-lain.

Ketika peristiwa pencekalan konser Iwan di 100 kota itu berlangsung, ternyata dia sedang terlibat dalam sebuah proyek musik pengusaha Setiawan Djody bersama WS Rendra, Yockie Suryoprayogo dan Sawung Jabo, yang kemudian dikenal sebagai Kantata Takwa. Suatu sore saya diajak Iwan ke rumah Jabo di kawasan Pasar Minggu. Kami berbincang dan bernyanyi-nyanyi. Jadilah beberapa lagu seperti “Oh Ya”, “Perjalanan Waktu”, “Cinta” dan lain-lain. Sejak itu, Condet, Pasar Minggu dan Klender, tempat tinggal saya, menjadi pos kreatif kami dalam menulis berbagai lagu dan musik.Beberapa lagu berhasil kami tulis. Tapi kami belum punya rencana untuk apa lagu ini nantinya. Tampaknya Iwan mendapatkan empati dengan kegiatan ini. Dia sangat tertarik dan kemudian menawarkan sejumlah dana untuk bisa menyewa studio latihan. “Kita latihan saja yuk. Kebetulan aku ada dana yang bisa dipakai dulu,” ajaknya. Tentu saja tawaran itu tidak kami tampik. Jabo langsung menghubungi Innisisri dan Nanoe untuk ikut bergabung sebagai pemain drum dan bas.

Tetapi formasi belum komplit. Posisi gitar dan keyboard masih kosong. Iwan menawarkan nama Yerry Badai, gitaris Badai Band, yang sering menemani Iwan malakukan konser. Sedangkan untuk keyboard, Jabo menawarkan pemain keyboard Prambors Band, Tatas. Formasi band yang kami rencanakan lengkap sudah. Atas kesepakatan bersama, kami menamakan grup ini sesuai dengan nama yang ditawarkan oleh Jabo, yaitu Swami.

Kami kemudian mulai berlatih. Beberapa studio latihan seperti One Feel, RAM, dan lainnya menjadi langganan. Selama latihan itu, Iwan juga berusaha menawarkan lagu-lagu itu ke beberapa produser. Tapi hampir semua produser yang kami datangi menolak dengan berbagai dalih. “Bagaimana caranya kami jual barang macam ini?!” kata salah satu produser yang kami datangi seraya mengembalikan demo lagu yang baru didengarkannya.

Kami tidak putus asa. Sementara terus latihan, Iwan juga terus berusaha mencari peluang untuk bisa rekaman. Sampai suatu hari, seusai latihan Iwan menyampaikan kabar. “Mas Djody bersedia merekam lagu kita lewat label AIRO,” katanya. Tentu saja kabar itu kami sambut dengan gembira. Akhirnya kami membuat kontrak AIRO dengan syarat, album ini tetap mengangkat nama Iwan sebagai ujung tombak yang dijual, sedangkan Swami di sini sebagai band pengiringnya. Danaproduksi juga sangat terbatas. Tapi kami tak peduli. Yang penting masuk studio dan rekaman dulu.

Kami rekaman di GIN, studio rekaman terbaik saat itu yang terletak di daerah Petojo, Roxi, Jakarta Barat. Proses rekaman berjalan lancar, walau di tengah proses sempat terjadi ganjalan dan diskusi. Salah satunya ketika akan merekam lagu “Bongkar” yang disodorkan Iwan. Diskusi seru berlangsung sampai akhirnya Iwan setuju untuk menyiasati bunyi lirik yang ‘menentang arus’. “Kami tidak kompromi, tapi menyiasati,” demikian argumen yang kami pilih. Revisi kemudian dilakukan oleh Jabo. Jadilah lagu “Bongkar” seperti yang dikenal saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar